Imunodefisiensi adalah penyakit yang
disebabkan menurunya atau gagalnya salah satu atau lebih komponen sistem imun.
Imunodefisiensi spesifik dapat melibatkan kelainan pada sel T atau sel B yang
merupakan komponen sistem imun spesifik, sedangkan kelompok Imunodefisiensi
lain adalah Imunodefisiensi non-spesifik yang melibatkan komponen-komponen
sistem imun yang terutama terdiri atas sistem fagosit dan komplemen. Gejala
klinis yang menonjol pada Imunodefisiensi adalah infeksi berulang atau
berkepanjangan atau oportunistik atau infeksi yang tidak umum yang tidak
memberikan respon yang adekuat terhadap terapi antimikroba. Telah diketahui bahwa reaksi imunologi
pada infeksi merupakan interaksi antara berbagai komponen dalam sistem imun
yang sangat komplek. Kelainan pada sistem fagosit, limfosit T dan limfosit B
mapun dalam sistem komplemen dapat menampilkan gejala klinik yang sama sehingga
sulit dipastikan komponen mana dari sistem imun yang mengalami gangguan. Penderita
dengan defisiensi limfosit T biasanya menunjukan kepekaan terhadap infeksi
virus, protozoa, dan jamur yang biasanya dapat diatasi dengan respon imun
seluler.
Gambaran umum
imunodefisiensi adalah sebagai berikut:
· Konsekuensi utama imunodefisiensi adalah
peningkatan kepekaan terhadap infeksi. Sifat infeksi pada individu tertentu
terutama bergantung pada komponen sistem imun mana yang mengalami defek.
·
Pasien
dengan imunodefisiensi biasanya juga mudah terkena kanker terutama kanker yang disebabkan
oleh virus. Hal ini sering terlihat pada
imunodefisiensi sel T.
· Imunodefisiensi merupakan penyakit yang
sangat heterogen. Sebagian besar hal ini disebabkan defek komponen sisten imun
tang berbeda-beda dengan manisfestasi klinis yang berbeda pula.
Dengan demikian, defek respon imun dapat
disebabkan kelainan imunitas spesifik maupun non spesifik, sedangkan defek imunitas
spesifik mungkin disebabkan kelainan dalam perkembangan sel-sel sistem imun,
maupun aktivasi atau fungsi limfosit T dan atau limfosit B spesifik.
I. DEFISIENSI IMUN
NON-SPESIFIK
A. Defisiensi Komplemen
Defisiensi komplemen atau
fungsi komplemen berhubungan dengan pemingkatan insidensi infeksi dan penyakit
autoimun SLE. Komponen komplemen dibutuhkan untuk membunuh kuman, opsonisasi,
kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eleminasi kompleks antigen
antibodi. Defisiensi komplemen (terutama C3) dapat menimbulkan berbagai akibat
seperti infeksi bakteri yang rekuren, peningkatan sensitifitas terhdap penyakit
atuimun.
B. Defisiensi Sistem Fagosit
Fagosit dapat menghancurkan
mikroorganisme dengan atau tanpa bantuan komplemen. Defisiensi fagosit sering
disertai dengan infeksi berulang. Defisiensi disini ditekankan terhadap sel PMN.
1. Defisiensi Kuantitatif
Neutropenia
atau granulositopenia yang ditemukan dapat disebabkan oleh penurunan produksi atau
peningkatan destruksi. Penurunan produksi neutrofil dapat disebabkan pemberian
depresan sumsum tulang (kemoterapi pada kanker), leukimia.
Peningkatan
destruksi neutrofil dapat merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat
tertentu yang dapat memacu produksi antibodi dan berfungsi sebagai opsonin
untuk neutrofil normal.
2. Defisiensi Kualitatif
Defisiensi
kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan dan
membunuh mikroba intraseluler.
a. Chronic Granulomatosus Disease
(CGD)
CGD mempunyai ciri infeksi rekuren
berbagai mikroba baik gram negatif mapun gram positif. Pada CGD ditemukan
dwefek neutrofil, ketidak mampuan membentuk hidrogen peroksidase atau metabolit
oksigen toksik lainnya.
b. Defisiensi Glucose-6-Phosphate
Dehydrogenase (G6PD)
Defisiensi G6PD adalah penyakit
imunodefisiensi yang X-Linked. Penyakit ini diduga akibat defisiensi generasi
Nicotinamide Adenin Dinucleotide Phosphate Dehydrogenase (NAPDH). Dalam keadaan
normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang diperlukan untuk
pembentukan peroksidase. Pada defisiensi oksidase NADPH tidak dibentuk
peroksidase yang diperlukan untuk membunuh kuman intraseluler.
II. DEFISIENSI IMUN
SPESIFIK
A. Defisiensi Imun Kongenital atau Primer
1. Defisiensi Imun Primer Sel B
Defisiensi
sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B. Berbagai akibat dapat ditemukan
seperti tidak adanya semua Ig atau satu kelas atau sub kelas Ig. Penderita dengan defisiensi semua jenis
IgG akan lebih mudah menjadi sakit dibanding dengan yang hanya menderita
defisiensi kelas Ig tertentu saja. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
adalah analisa jumlah dan fungsi sel B, imunoelektroforesis dan evaluasi
kuantitatif untuk menentukan kadar berbagai kelas dan subkelas IgG.
2. Defisiensi Imun Primer Sel T
Penderita
dengan defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap
infeksi virus, jamur dan protozoa. Oleh karena sel T juga bnerpengaruh terhadap
sel B, maka defisiensi sel T disertai pula gangguan produksi Ig yang tampak dan
tidak adanya respon terhadap vaksinasi dan seringnya terjadi infeksi.
a. Kandidiasis Mukokutan Kironik
Kandidiasis Mukokutan Kronik adalah infeksi jamur
biasa yang nonpatogenik seperti K. Albikans pada kulit dan selaput lendir yang
disertai dengan gangguan fungsi sel T yang selektif. Penderita tersebut
mempunyai imunitas seluler yang normal terhadap mikroorganisme lain selain
kandida dan imunitas humoralnya normal. Jumlah limfosit total normal, tetapi
sel T menunjukan kemampuan yang kurang untuk memproduksi MIF dalam respon terhadap
antigen kandida, meskipun respon terhadap antigen lain normal.
B. Defisiensi Imun Spesifik Fisiologik
1. Kehamilan
Defisiensi
imun seluler dapat ditemukan dalam kehamilan. Keadaan ini mungkin diperlukan
untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen
paternal. Hal tersebut antara lain dapat disebabkan karena terjadinya
peningkatan aktivitas sel Ts atau oleh efek supresif faktor humoral yang dibentuk
trofoblas.
Wanita
hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen. IgG diangkut melewati
plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu.
2. Usia Tahun Pertama
Sistem imun pada usia
satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belim matang. Meskipun neonatus
menunjukan jumlah sel T yang tinggi. Semuanya berupa sel naif dan tidak
memberikan respon yang adekuat terhadap antigen.
3. Usia Lanjut
Golongan
usia lanjut lebih sering mendapat infeksi dibandingkan dengan usia muda. Hal
ini disebabkan oleh karena atrofi timus, fungtsi timus menurun. Akibat involusi
timus, jumlah sel T Naif dan kualitas respon sel T makin berkurang. Jumlah sel T memori meningkat
tetapi semakin sulit untuk berkembang.
C. Defisiensi Imun Didapat Sekunder
Merupakan defisiensi sekunder
yang sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit
yang terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya.
Defisiensi imun sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik
1. Malnutrisi
Malnutrisi dan defisiensi zat besi dapat
menimbulkan depresi sistem imun terutama pada imubitas seluler.
2. Infeksi
Infeksi dapat menimbulkan defisiensi imun.
Infeksi virus dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi Delayed Type
Hypersensitivitas sementara, jumlah sel T dalam sirkulasi dan respon limfosit terhadap
antigen dan mitogen menurun.
3. Obat, Trauma, Tindakan Katerisasi dan Bedah
Obat sering menimbulkan defisiensi imun
sekunder. Imunosupresi merupakan efek samping steroid dan obat sitotoksik sudah
sering digunakan pada penyakit autoimun dan pencegahan penolakan transplantasi.
Pemberian obat, tindakan katerisasi dan bedah dapat menimbulkan
imunokompromais. Obat-obat imunosupresi dan antibiotik dapat menekan sistem imun
pasien yang mendapat taruma (luka bakar atau tindakan bedah ) akan kurang mampu
menghadapi patogen, mungkin akibat penglepasan faktor dan menekan respon imun.
4. Penyinaran
Dalam dosis tinggi penyinran menekan
seluruh jringan limfoid, sedang dalam dosis rendah dapat menekan aktivasi sel
Ts secara selektif
5. Penyakit Berat
6. Kehilangan Imunoglobulin/ Leukosit
Defisiensi imunoglobulin dapat juga
terjadi karena tubuh kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit
ginjal dan diare.
7. Stres
Stres akut atau kronos menunjukan berbagai
efek terhadap sistem imun. Sistem imun berintegrasi dengan stres. Sistem imun
dapat bekeja sebagai sistem sensoris pada infeksi dini melalui peningkatan
respon fase akut. Pada keadaan lain, stres menghambat
kerja sistem imun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar