Perubahan
imunologik pada infeksi dengue terdiri atas perubahan imunologik humoral dan selular.
Perubahan humoral dapat dibuktikan dengan terbentuknya antibodi IgG dan IgM
yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologis. Beberapa peneliti menilai
perubahan respons imun selular dengan ditemukan limfosit atipik yang khas untuk
infeksi dengue, yaitu limfosit plasma biru (LPB) yang bermanfaat sebagai alat
bantu diagnosis dini dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi.
Infeksi virus
dengue menyebabkan aktivasi sistem imun. Gangguan respons imun seperti inversi
rasio CD4/CD8 tidak hanya mengganggu kemampuan sistem imun untuk membersihkan
virus, tetapi juga menyebabkan produksi sitokin berlebih yang akan mempengaruhi
limfosit T untuk berdiferensiasi menjadi limfosit atipik khususnya LPB.
Pemeriksaan LPB
merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah, dan dapat dilakukan di Puskesmas.
Pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakkan diagnosis terutama di daerah dengan
fasilitas laboratorium yang sederhana. Cara pengecatan sediaan darah tepi
berdasar WHO-DANIDA (1985) adalah dengan Giemsa. Jumlah LPB dihitung per 100
leukosit. Limfosit plasma biru adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua dan
berukuran lebih besar. Sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat
nyata, dan dijumpai daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah
satu tepi sel, berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromatin inti kasar
dan kadangkadang di dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada
granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan
tidak bertambah biru.
Jika nilai
limfosit plasma biru seseorang mencapai ≥ 4%, maka dapat dipastikan bahwa orang
tersebut terinfeksi virus dengue. Jumlah rata-rata LPB pada pasien demam dengue
(DD) dan demam berdarah dengue (DBD) mengalami puncak pada hari keenam sakit.
Pasien sindrom syok dengue (SSD) mempunyai jumlah LPB tertinggi pada saat syok. Jumlah LPB untuk setiap tipe
klinis memiliki perbedaan yang bermakna dan jumlah LPB semakin tinggi sesuai
dengan beratnya spektrum klinis. Semakin berat respons imun yang terjadi maka
semakin berat pula spektrum klinis yang dialami. Secara teoritis respons
imunologi terhadap limfosit terjadi lebih besar pada DBD dibanding dengan DD. Hal
lain yang dapat menjelaskan mengapa jumlah LPB
pada SSD jauh lebih tinggi daripada DBD karena pada SSD monosit yang
terinfeksi virus lebih banyak yang mengakibatkan sel limfosit berdiferensiasi
berubah menjadi limfosit atipik yang khas (LPB) menjadi lebih banyak.
Jumlah LPB
pasien DD pada saat kedatangan dapat menjadi prediktor tingkat keparahan
penyakit karena pada pasien yang akhirnya mengalami DBD secara signifikan memiliki
jumlah LPB saat kedatangan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tetap
mengalami DD. Apabila pasien DD saat
kedatangan mempunyai jumlah LPB 6 per 100
leukosit maka pasien tersebut memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk
mengalami perubahan menjadi DBD dibanding pasien DD yang memiliki LPB lebih
rendah.
Bagi para
klinisi pemeriksaan LPB pada anak yang mengalami infeksi dengue sebaiknya dilakukan
pada semua spektrum klinis, yaitu pada saat pasien datang dan dilakukan secara periodik
pada hari ke-5, ke-6, dan ke-7 sakit sehingga dapat dicegah terjadinya gejala
klinis yang fatal, khususnya syok. Bila ditemukan jumlah LPB pasien DD pada
saat kedatangan 6 per 100 leukosit, hendaknya dilakukan pemantauan yang lebih
ketat dan tindakan lebih agresif karena risiko untuk mengalami perubahan
menjadi DBD lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar